Aku diam. Menunduk. Menahan tangis.
"Kamu tahu ini semua akan terjadi. Dari awal kita mulai, kamu tahu akan ada bagian ini."
Kamu membalikkan badanmu. Menatapku lekat-lekat. "Tapi kenapa sekarang?"
Aku terus menunduk. Tidak berani balik menatapmu.
"Karena semakin lama, aku semakin membutuhkanmu. Semakin aku membutuhkanmu, semakin aku susah melepasmu."
Kamu mematikan rokokmu. Menginjak-injaknya dengan sepatu kanvas kesukaanmu. Badanmu bergerak semakin gelisah. "Kamu tahu berapa besar rasa sayangku kepadamu? Kamu tahu kalau ini terlalu berat untuk dilakukan?"
Aku tahu. Tahu sekali. Aku juga begitu.
Susah payah aku menahan tangis.
"Kamu tahu berapa banyak kenangan indah yang harus dilupakan? Dan kamu tahu untuk melupakan itu semua tidak mudah?"
Aku terus menunduk. Aku tahu, Gadra. Aku tahu sekali. Aku juga begitu.
Kali ini tangisku tak bisa kutahan lagi.
Kamu tertegun melihatku menangis. Kamu duduk lagi di sampingku. Tanganmu mengusap rambutku pelan, mencoba meredakan tangisku. Aku terisak. Mencoba secepat mungkin menghentikan tangisku.
"Maaf, ya." katamu lirih. "Maaf selalu saja membuatmu harus bersabar karena keegoisanku. Aku hanya belum bisa membayangkan akan hidup tanpa kamu lagi bersamaku."
Aku menyeka air mataku. "Kita sudah sepakat dari awal, ini yang akan kita pilih sebagai akhir. Aku tak bisa memaksakan kamu menjadi sepertiku, begitu juga denganmu. Aku juga sama sepertimu, merasa berat. Dan rasa sayangku kepadamu lebih dari apa yang kutunjukkan kepadamu, Gadra. Kamu tidak tahu betapa besar sesungguhnya rasa itu."
Kamu terdiam. Menatapku dengan berbagai macam ekspresi di matamu. Menunggu penjelasan apa lagi yang akan keluar dari mulutku.
"Aku tidak pernah menyuruhmu untuk melupakanku dan kenangan kita. Karena ketika kisah ini mati, hanya dengan kenanganlah kita hidup. And if moving on is so much harder for you, then you could just let me go.."
"Apa menurutmu... cinta kita ini salah?" tanyamu ragu-ragu.
"Tidak ada yang salah dengan mencintai seseorang, Gadra. Aku tidak pernah merasa salah telah mencintaimu. Mungkin yang salah adalah aku membiarkanmu masuk ke dalam hari-hariku. Melepasmu bukan berarti aku tidak mencintaimu lagi. Sekarang, di sini, menurutku adalah waktu yang terbaik untuk pisah. Kali ini, biarkan aku yang egois."
"Baiklah." Ujarmu dengan berat. "Kita pisah."
Aku mengangguk. Mencoba dengan sebisa mungkin tersenyum. Tersenyum untuk kenangan dan pengalaman indah selama ini denganmu. Juga segala pelajaran yang hanya kudapatkan darimu.
Kamu memelukku erat. Lalu melepasnya, dan pergi.
Tak pernah kembali.
Siapa bilang cinta bisa mengalahkan segalanya?
Di cerita kami, cinta tetap saja kalah.

Siapa bilang cinta bisa mengalahkan segalanya?
Di cerita kami, cinta tetap saja kalah.
Oleh agama.
4 COMMENT;
hm insightful sekali la. jleb.
BalasHapushehehe makasih!
BalasHapusbaru baca...mau nangis bo'
BalasHapusDini
pengalaman din? hahahahahaha :p
BalasHapus