Aku menyebutnya lime green.
Tidak ada alasan khusus sebenarnya, hanya kebetulan aku menemukannya dalam salah satu lagu The Cure, Wrong Number. Dia bukan ilusi. Dia nyata. Dia ada. Dia hanya jauh. Tak tersentuh.
Dia datang dengan mengendap-endap. Diam-diam. Tanpa suara, tanpa harapan yang tersirat, tanpa butuh banyak waktu. Tak perlu aksi yang berarti hingga akhirnya dia menunjukkan dirinya di depanku. Dia muncul begitu saja. Tanpa persiapan, tanpa senjata, tanpa tahu bahwa sebenarnya dirinya membahayakan bagiku.
Dia mengantarkanku pada satu lapis dunia yang sebelumnya tidak pernah kuketahui. Dia membagi harapannya, mimpi-mimpinya, dan kisahnya tentang itu semua. Dia membuatku nyaman untuk sekedar mendengarkan celotehannya. Dia membuatku tertawa. Dia membiarkanku kagum dengan kepintarannya. Dia bilang dia seorang dengan integritas tinggi. Apalah. Dia terus menyerangku. Menyerbu pertahananku dengan segala yang dimilikinya. Akhirnya aku kalah. Menyerah. Aku memberikan hal yang semula enggan aku bagi kepadanya: perasaan.
Lalu dengan mudahnya dia membuat layar ponselku menjadi lebih menarik. Dia seperti oase di gurun, menyejukkan dan memberikan angin segar di tengah panasnya hidup. Membicarakan tentang dia seperti berenang di laut merah. Mengapung. Tenang. Memberikan kenyamanan. Tapi aku lupa bahwa laut tetaplah laut. Ombak yang datang tidak seperti di kolam ikan. Itu dapat membuatku lenyap, tenggelam di dalamnya. Dia memang bahaya. Dan dengan segala resiko membahayakan itu aku tetap memilih melanjutkan petualangan. Entah kenapa. Aku bahkan tidak dapat menemukan alasan logis tentang ini. Yang kutahu aku hanya keras kepala.
Kemudian aku sadar bahwa aku selalu sendiri. Kedinginan. Menggigil. Dia tidak cukup mampu menyalakan api untukku. Kehangatan yang dia berikan hanyalah semu. Kenyamanan sugesti yang sesungguhnya adalah kehampaan. Kosong. Tak memiliki arti.
Hingga aku benar-benar merasakan semuanya patah. Pecah. Hancur. Pelan aku kabur. Menjauh dari harapan yang tinggal sekumpulan serpihan kenangan. Melepaskan semua atribut yang selama ini menempel di otakku. Meninggalkan bayangan yang terus mengikutiku.
Kenangan memang berbahaya. Ya, bahaya, seperti dia. Kenangan bisa menghalangimu untuk maju dan melangkah menuju kisah lain yang menunggu.
Ini memang kisah lama.
Dia tak tahu kalau ini menjadi kerapuhanku. Dia seperti awan hitam yang menghalangi sinar mentari. Yang kemudian malah menurunkan hujan, mengacaukan semua rencana sang mentari. Dia seperti angin kencang yang kubiarkan masuk sampai ke tulang. Yang walaupun sudah berlalu, sensasinya tetap tertinggal, masih terasa.
Aku mencoba menulis ini seperti yang dia inginkan tadi sore. Saat dia bilang dia ingin diceritakan, aku tak mampu menemukan plot lain selain ini.
Maaf.
0 COMMENT;